Setiap jamaah haji tentunya sangat mendambakan bahwa hajinya mendapatkan predikat haji yang mabrur. Untuk itu tidaklah mudah mendapatkanya. Bahkan tak jarang banyak jamaah haji yang setelah pulang keimanannya tidaklah bertambah melainkan tambah menjadi-jadi alias habis tobat kambuh lagi kemaksiatannya. Na’udzubillahi min dzalik.
Apa sih yang dimaksud dengan haji mabrur? Apa pula maknanya? Kalau ada haji mabrur tentunya ada haji yang tidak mabrur dong, alias mardud?! Nah kali ini kita akan membahas masalah haji mabrur dan apa-apa yang menyebabkan seseorang memperoleh haji mabrur tersebut.
Dalam membahas haji mabrur ini, ada dua hal/ istilah yang perlu kita pahami yaitu pertama tentang haji maqbul dan haji mabrur itu sendiri. Haji maqbul (diterima) adalah haji yang diterima oleh Allah SWT, artinya ibadah haji yang dilaksanakan tidak dicampuri dengan perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT, bebas dari riya’ karena ingin dipangil “Pak Haji”atau “Aba”, “Bu Haji” atau “Umi”, dan tidak di nodai dengan perbuatan rafats(berkata kotor, jorok), fusuq (melanggar perintah Allah atau agama) dan jidal (berbantah-bantahan). Pelaksanaan hajinya harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dimana rukun dan wajib hajinya haruslah terpenuhi. Rasulullah SAW pernah bersabda “Khuddu ani manasikakum” yang artinya “Ikuti dariku manasik olehmu”. Ternyata berat juga ya..
Salah seorang Ulama Hadis Al Hafidh Ibn Hajar al’ Asqalani dalam kitab Fathul Baarii, syarah Bukhori Muslim menjelaskan: “Haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Alah SWT.
Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Muslim: “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riyanya, tidak ada sum’ah tidak rafats dan tidak fusuq.”
Sedangkan haji yang ditolak (mardud) adalah ibadah haji yang pelaksanaanya dicampuri oleh perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Disamping itu, dalam suatu hadist Rasulullah SAW menjelaskan penolakan Allah terhadap haji dengan biaya atau bekal yang haram:
Artinya: “Tidakada talbiyah bagimu dan tidak ada pula keberuntungan atasmu karena makananmu haram, pakaianmu haram dan hajimu ditolak”. (HR. Al-Tabrani).
Singkatnya Haji yang maqbul adalah haji yang diterima dan mendapatkan pahala sesuai dengan yang dijanjikan dan menghapuskan kewajiban seseorang dari kewajiban hajinya.
Sedangkan pengertian Haji mabrur lebih mencerminkan hasil dari pelaksanaan ibadah haji yang maqbul, dan lebih mencerminkan pasca pelaksanaan ibadah haji.
Haji Mabrur memiliki pengertian haji yang mampu mengantarkan pelakunya kelak menjadi lebih baik sebelum ia berhaji. Perilakunya setelah pulang haji menjadi lebih baik, ibadahnya lebih menigkat, baik ibadah mahdhah (ibadah yang murni) seperti sholat, puasa, zakat mapun ibadah ghairu mahdhah (tidak murni) seperti dalam kehidupan sosialnya, sabar, jujur dan berakhlak mulia.
Dengan demikian haji mabrur sudah pasti maqbul, tetapi tidak semua haji yang maqbul menjadi haji mabrur. Karena kemabruran haji seseorang akan terlihat dengan perilaku ibadah dan amaliahnya setelah pelaksanaan hajinya. Boleh dikata bahwa kemabruran ibadah haji lebih mencerminkan kualitas ketaqwaan seseorang setelah menjalankan ibadah haji. Artinya kemabruran haji adalah sebuah proses peningkatan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Mudah-mudahan segala amaliah kita selama melaksanakan ibadah haji menjadikan pemicu agar kita tetap istiqomah dalam meningkatkan kualitas ketaqwaan kita kehadirat Allah SWT. Amin..
MAKNA IBADAH HAJI DAN PELESTRARIAN HAJI MABRUR
Kemabruran ibadah haji adalah merupakan sebuah proses yang terus kita upayakan dalam kehidupan sehari-hari setelah kepulangan menunaikan ibadah haji. Upaya pelestarian haji mabrur sebenarnya merupakan pengejawantahan dari amal-amal kita selama menunaikan ibadah haji. Relevansi makna ibadah haji dan upaya pelestarian haji mabrur tersebut antara lain:
- Sikap taat dan patuh dalam melakukan sesuatu sesuai dengan aturan, tidak semaunya sendiri. Allah SWT dalam penciptaan alam semesta ini, segala sesuatunya sesuai dengan aturan dan terkontrol. Cerminan sikap ini merupakan implementasi dari pengambilan Miqot Haji dan ihram, artinya ketika kita melaksanakan ibadah haji haruslah berniat ihram haji atau umrah dari Miqot yang sudah ditentukan, tidak boleh disembarang tempat, apalagi semaunya sendiri. Dalam berihram sendiri, didalamnya mengandung larangan-larangan ihram yang harus dipatuhi. Nah.., maknanya ketika kita melakukan sesuatu hal haruslah sesuai dengan aturan. Syukur alhamdulillah jika aturan tersebut berdasarkan pada tuntunan agama yaitu Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW. Insya Allah jika kita berpegang pada dua hal tersebut kita akan selamat dunia akhirat.
- Sikap selalu mendahulukan seruan atau pangilan Allah SWT daripada kepentingan yang lain. Sikap ini tercermin dari lafadz talbiyah yang sering kita kumandangkan ketika kita melaksanakan ibadah haji. “Labbaik Allahumma Labbaik. Labbaik La Syarikalak”. “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
- Sikap selalu melakukan koreksi diri atau introspeksi, agar kehidupan lebih baik. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan wukuf kita. Selama wukuf disunahkan jamaah haji berdzikir, tafakur dan taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna pula kita melakukan introspeksi, menghitung seberapa besar taat kita pada perintah-perintah Allah SWT dan seberapa besar pula kita bermaksiat kepada Allah SWT. Seberapa besar pula nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita selama ini. Berat manakah timbangannya? Apakah taat kita kepada Allah SWT atau maksiat kita kepada Allah SWT? Sudakkah kita melakukan introspeksi ini. Pasti berat timbangan maksiatnya? Kita akui saja! Selanjutnya adakah kita menyesalinya dan bertobat dengan taubatan nasukha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus selalu kita ajukan dalam diri kita dalam upaya melakukan introspeksi agar hidup kita lebih baik.
- Sikap selalu menghidarkan diri dari hal-hal atau perbuatan yang merugikan diri sendiri atau tidak bermanfaat. Hal ini tercermin dari sikap kita untuk menjaga larangan-larang ihram selama berhaji. Larangan ihram berupa larangan melakukan rafats (berkata kotor, jorok), fusuq (bermaksiat kepada Allah SWT, perbuatan fasiq), jidal (berbantah-bantahan, adu mulut), memotong pepohonan dan menyakiti orang lain adalah upaya kita untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu kita terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Tindakan ini merupakan latihan agar nantinya sepulang haji, kita bisa mengendalikan diri dari dorongan negatif hawa nafsu kita. Sikap tersebut juga mencerminkan sikap toleransi kita terhadap sesama. Mennghormati hak-hak orang lain adalah perintah agama karena dihadapan Allah SWT kita adalah sama. Inilah adalah cermin dari pakaian ihram kita. Allah SWT tidaklah melihat status sosialnya, jabatannya atau pangkatnya melainkan ketaqwaannyanya yang akan dilihat Allah SWT.
- Sikap akan cinta damai, berjiwa sosial dan tolong menolong serta memberi kesempatan orang lain dalam berbuat kebajikan. Selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Sikap ini merupakan cerminan dari kegiatan thawaf. Ketika thawaf, kita bisa saksikan, beribu-ribu orang melaksanakan thawaf di Masjidil Haram, mengeliling Ka’bah secara teratur. Selama pengalaman penulis berhaji, belum ada jamaah haji yang meninggal karena terinjak-injak ketika thawaf, justru ketika ada orang yang jatuh maka serentak orang yang berada di sekelilingnya akan menolang orang tersebut. Ketika memulai thawaf, cukup hanya melampaikan tangan ke Hajar Aswad kemudian mengecupnya. Ini mencerminkan sikap mengalah dan memberikan kesempatan orang lain untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Sebenarnya masih banyak makna-makna amaliyah ibadah haji yang memberikan pelajaran kepada kita yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sekepulangan kita menunaikan ibadah haji. Point-point tersebut adalah sebagian kecil yang bisa penulis sampaikan. Akan lebih baik jika Anda yang telah menunaikan ibadah haji bisa mengambil makna-makna ibadah haji Anda sendiri, karena setiap jamaah haji memiliki pengalaman-pengalaman sendiri yang berbeda satu sama lain. Ambillah hikmahnya dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Syekh Hasan Muhammad Al Mussyath menjelaskan bahwa tanda-tanda kemabruran haji seseorang adalah apabila mampu membentuk kepribadiannya setelah melaksanakan ibadah haji berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya dan tidak lagi mengulang maksiatnya.